fikih lintas agama

Teknis Aplikatif Pluralitas dan Toleransi Umat Beragama Dalam Perspektif Alquran

Islam tidak mengingkari adanya perbedaan agama, bahkan perbedaan tersebut sudah menjadi kehendak allah. dari sini Islam yang merupakan petunjuk bagi umat manusia, menyeru kepada semua umat manusia untuk kembali kepada jalan yang benar, menyembah Allah Yang Satu dan menjalankan petunjuk Ilahy.
Terbentuknya sebuah umat Islam, dengan artian segolongan manusia yang beragama Islam, meniscayakan sebuah klasifikasi manusia. Secara sederhana dapat dikatakan –berdasarkan hal ini- bahwa manusia terbagi menjadi dua golongan, golongan umat Islam dan golongan non muslim. Klasifikasi ini menuntut adanya sebuah aturan main yang mengatur pola interaksi antara keduanya. Pola interaksi inilah yang akan kita diskusikan.
Tulisan ini akan mengetengahkan hubungan muslim dan non muslim dalam kacamata Islam. Alquran yang merupakan sumber dari segala sumber hukum Islam, banyak mengatur tentang hal ini. Alquran banyak mengungkapkan kata muslimun, kafirun, ahli kitab, musyrikun dan sebagainya. Pola interaksi yang diajukan oleh Alquran mempunyai nilai luhur dalam mengatur kehidupan umat manusia.

Interaksi antara Muslim dan Ahli Kitab

Dalam Islam ada pembedaan antara ahli kitab dan non ahli kitab. Ahli kitab meliputi kaum Yahudi dan Nasrani, non ahli kitab meliputi semua agama non samawi, yakni agama buatan manusia. Ahli kitab mendapatkan porsi khusus dalam Islam karena ada hubungan historis antara keduanya. Islam mengakui nabi-nabi pembawa risalahnya, bahkan Alquran secara tegas menyatakan bahwa tujuan semua Nabi adalah sama dalam hal Akidah, akan tetapi berbeda dalam hal syareah. Ada beberapa hal spesifik yang diatur oleh Islam dalam berinteraksi dengan Ahli kitab, yaitu:

a. Dalam Hal Perkawinan
Sebenarnya ada perbedaan pendapat ulama dalam hal ini, kebanyakan ulama menyatakan bahwa hukum asal dalam perkawinan dengan ahli kitab adalah boleh, akan tetapi Ibnu Umar menyatakan haram. Ia menyamakan Ahli kitab dengan kaum musyrik, karena tidak ada kemusyrikan yang lebih besar dari pada konsep ketuhanan dalam mereka, yaitu menganggap Isa anak Tuhan dalam Nasrani dan mensifati Tuhan dengan sifat yang tak layak dalam Yahudi. Walaupun demikian pendapat yang lebih rajih adalah pendapat mayoritas ulama, karena Alquran dengan jelas mengatakan kebolehan perkawinan dengan ahli kitab.

Kajian fiqih yang membahas masalah ini, memperinci, bahwa laki-laki muslim yang ingin menikah dengan wanita dari Ahli kitab maka hukumnya boleh, sedangkan wanita muslimah tidak diperbolehkan menikah dengan pria selain muslim. Hal ini berdasarkan berbagai pertimbangan, diantaranya berdasarkan sistem keluarga dalam Islam. Dalam Islam kepala rumah tangga dipegang oleh pihak pria, dengan demikian semua keputusan ada ditangannya. Dengan diperbolehkannya seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab, diharapkan wanita tersebut akan tertarik kepada Islam. Sebaliknya jika wanita muslimah diperbolehkan menikah dengan pria non muslim, maka besar kemungkinan wanita tersebut akan keluar dari Islam, dan hal ini sangat tidak diharapkan dalam Islam.

Walaupun hukum asal dalam pernikahan ini adalah boleh, akan tetapi Yusuf Qardlawi memberikan beberapa catatan, yaitu:
1. Pembolehan pernikahan tersebut karena seorang Ahli kitab adalah meyakini Tuhan dan petunjuk-Nya serta iman terhadap akherat. Keyakinan ini adalah prinsipil dalam agama samawi. Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman banyak diantara Ahli kitab ini yang melenceng dari akidah aslinya. Kalau ternyata diketahui bahwa ia telah melenceng, maka pernikahan tidak diperbolehkan.
2. Pernikahan diperbolehkan dengan sarat sang mempelai wanita adalah terjaga dari sifat hina. Dalam hal ini Alquran membahasakannya dengan muhsonat.
3. Ahli kitab tersebut bukan termasuk golongan yang memerangi Islam.
4. Pernikahan boleh ketika tidak ada prediksi kuat akan terjadinya sebuah fitnah atau mudlorot.

Sebenarnya masih banyak cabang masalah yang masuk dalam kajian ini, bagi yang ingin mendalaminya bisa melihat langsung ke referensi.

b. Dalam hal makanan
Secara umum Islam tidak membeda-bedakan dalam hal makanan. Selama makanan atau minuman itu tidak termasuk yang diharamkan maka hukumnya boleh, baik itu berasal dari seorang muslim atau Ahli kitab atau yang lainnya. Akan tetapi penekanan di sini adalah dalam hal sembelihan. Sembelihan dari ahli kitab diperbolehkan untuk dimakan. Dalam Islam, penyembelihan harus memakai nama Tuhan. Karena ahli kitab mempunyai akidah asal yang sama, maka sembelihan dari mereka diperbolehkan untuk dimakan.

Hubungan Muslim dengan Non Muslim selain Ahli Kitab

Tidak ada perbedaan mencolok antara interaksi di sini dengan pola interaksi dengan Ahli kitab kecuali dalam hal perkawinan dengan segala masalah cabangnya dan masalah sembelihan. Kalau dengan Ahli kitab masih ada toleransi, sedangkan dengan non Ahli kitab tidak ada toleransi. Pria atau wanita Islam dilarang keras menikah dengan golongan ini, begitu juga dilarang makan sembelihannya.

Pola Interaksi Umum Antara Muslim dan Non Muslim

Dr. Mustofa Siba'i menyebutkan beberapa nilai luhur Islam dalam berinteraksi dengan non muslim secara umum. Nilai dan prinsip ini perlu ditanamkan sedini mungkin dalam pola pikir kaum muslimin. Prinsip tersebut mengarah kepada perdamaian dan kedamaian hidup umat manusia, yaitu:
1. konsep semua manusia adalah bersaudara
konsep ini disebutkan dalam surat An-nisa' ayat 1 dan surat hujurat ayat 13
2. cinta kasih, saling bekerja sama dalam kebaikan dan saling berbuat baik.
Tersebut dalam Alquran surat al Maidah ayat 2
3. Saling memahami dan memaafkan
Tersebut dalam surat al Syura ayat 40
4. Semua hal yang mengarah kepada permusuhan dan kedengkian adalah haram hukumnya, hal ini sesuai dengan ayat 11 surat al Hujurat
5. Tetap bersikap adil dan proporsional
Tersebut banyak sekali dalam Alquran, diantaranya surat mumtahanah ayat 8

Perlu disebutkan juga bahwa pola hubungan tersebut adalah ketika dalam masa damai, hidup saling berdampingan antara satu dengan yang lain, tanpa ada rasa permusuhan. Akan tetapi pola ini akan berubah ketika kondisi berubah. Pada suasana peperangan, tidak ada rasa cinta kasih dengan musuh, tidak ada toleransi, kerjasama, dan tidak ada pula saling menghormati. Walaupun demikian jangan dilupakan juga ahlak yang diajarkan Rasulullah dalam berperang, diantaranya tidak boleh membunuh orang tua, wanita dan anak kecil.

Islam selalu mengajak kepada perdamaian umat manusia, tanpa melihat perbedaan yang ada. Akan tetapi Islam juga tidak tinggal diam, jika ia dizalimi, harga dirinya diinjak-injak, dan kemungkaran merajalela.

Dialog Lintas Agama

Perbedaan yang ada dalam masyarakat kerap menjadi sumber konflik. Tak terkecuali perbedaan agama, bahkan perbedaan ini yang sangat rentan konflik karena agama merupakan ideologi yang membentuk pola pikir manusia. Dalam rangka mencapai kerukunan umat beragama, banyak sekali usaha yang telah dilakukan. Salah satunya adalah dengan dialog antar umat beragama.

Dialog yang bertujuan baik ini kadang menjadi negatif. Seringkali malah menjadi ajang saling mengejek, saling mencari kekurangan masing-masing, sehingga tujuan tidak tercapai, bahkan memperuncing konflik yang ada. Dua ideologi yang secara mendasar berbeda, tidak akan dapat dipertemukan, misalnya, Kristen tidak mengakui kenabian Muhammad, maka otomatis ajaran yang dibawanya juga tidak akan diakui. Begitu juga Islam tidak mengakui ajaran Trinitas, bahkan menganggap sebagai kemusyrikan yang besar karena menganggap Tuhan mempunyai anak, maka tidak akan dapat dipertemukan. Yang dapat dilakukan adalah menjelaskan identitas masing-masing, mana yang diperbolehkan, mana yang tidak sehingga terjadi kesepahaman antara keduanya, untuk menuju kepada sebuah kerukunan hidup.
Hal ini juga disinggung oleh Dr. Yusuf Qardlawi. Dalam Islam, pendekatan lintas agama, terutama agama samawi dibedakan menjadi 2 hal, yang satu haram dan yang lainnya adalah mubah. Hal yang tidak diperbolehkan dalam Islam adalah usaha menggabungkan dua akidah yang berbeda. Sedangkan yang diperbolehkan adalah sebuah dialog interaktif-positif yang tidak menyinggung ideologi dasar. Dialog yang diperbolehkan ini diantaranya:

1. Dialog dengan cara yang baik, sesuai dengan yang disebutkan dalam Alquran, surat an-Nahl, 125. Dialog ini dapat berupa saling tukar informasi atau tukar data, saling mengisi kekurangan dengan semangat perdamaian dan cinta kasih.
2. Dialog yang berkonsentrasi kepada poin-poin yang disepakati dalam ajaran masing-masing, misalnya, prinsip perdamaian, cinta kasih, prinsip keadilan dan berusaha menerapkan dalam kehidupan umat beragama.
3. Bekerjasama membendung ideologi yang tidak berketuhanan, semisal komunisme yang tidak mengakui adanya Tuhan dan ideologi matrealistis.
4. Bekerjasama membela kaum lemah, menghilangkan kedzaliman dan memperjuangkan keadilan.
5. Bekerjasama menyebarkan prinsip toleransi, saling menghornati dan menghargai pendapat orang lain.

Komentar